Membekali Diri agar Menjadi Tenaga Kerja Wanita yang Moderat dan Tangguh

21 April 2021 menjadi momentum perempuan memperingati Hari Kartini. Lagu “Ibu Kita Kartini” karya Wage Rudolf Soepratman yang selalu dinyanyikan dan dihafal liriknya oleh banyak anak-anak saat duduk dibangku sekolah bahkan semua kalangan menjadi salah satu karya inspiratif dari sosok putri tangguh pejuang emansipasi perempuan, RA Kartini.
Emansipasi perempuan yang merupakan gerakan pembebasan dari perbudakan yang berkaitan dengan persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat menjadi landasan perempuan untuk turut tampil dan memberikan kontribusi serta partisipasi aktif dalam segala kegiatan dan bidang. Sebab perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki, termasuk dalam dunia kerja.
Untuk bisa menopang kemampuan diri pada perempuan di dunia kerja, tentu harus didukung dengan membekali diri agar menjadi tenaga kerja wanita yang moderat dan tangguh. Dra. Siti Syamsiyatun, M.A, Ph.D (Dosen Prodi Pengembangan Masyarakat Islam UIN Sunan Kalijaga) selaku narasumber pada kegiatan Seminar Nasional Dakwah dan Pemberdayaan Tenaga Kerja Perempuan pada Selasa kemarin (20/4) via Zoom memaparkan perihal modal menjadi tenaga kerja wanita yang moderat dan tangguh.
Perlu diketahui, perempuan itu rentan tapi sesungguhnya tangguh. Ada beberapa bekal diri yang perlu diperhatikan perempuan, antara lain: Berkarya adalah ibadah; Berkarya adalah mengkatualisasikan diri sesuai dengan keahlian kita; Dalam bekerja yang penting adalah karakter dan kepribadian; Menjadi apapun kalau anda menjadi pribadi yang hangat, positif, dan berintegritas maka akan bermanfaat dan dihargai orang lain.
Selain itu, ada beberapa poin yang disampaikan oleh Bu Syamsiyatun terkait Pembekalan Kompetensi Tenaga Kerja Wanita (TKW). Pertama, karakter, kepribadian, dan sikap yang positif. Kedua, pengetahuan umum dan kecerdasan kultural (mencegah gegar budaya dan risiko). Ketiga, pemahaman keagamaan yang luas. Keempat, keterampilan yang sesuai dengan pekerjaan.
Selanjutnya, menciptakan ekosistem TKW di wilayah asing. Pertama, mengoptimalkan kehadiran dan peran negara serta agensi. Kedua, meningkatkan kemampuan diri secara terus menerus. Ketiga, bangun jejaring dengan kelompok pengajian para diaspora Indonesia PCIM dan PCNU di berbagai Negara. Keempat, negara dan masyarakat responsif dan sensitif terhadap kebutuhan TKW. Terakhir, support untuk peningkatan kemampuan diri para pekerja.
Bu Syamsiyatun juga menegaskan terkait kenyataan pekerjaan domestik di Indonesia yang masih kurang dihargai. Menilik ke negara dengan kesejahteraan yang lebih baik, Finlandia dan Kanada justru telah mulai mendorong warganya untuk menghargai pekerjaan domestik, dengan alasan pekerjaan reproduktif tidak bisa terganti dengan mesin.
Selain itu, terkadang ibu rumah tangga yang mengasuh 9 anak dianggap tidak lebih baik daripada laki-laki yang bekerja dengan gaji 3.000.000 rupiah per bulan. Saat ini, Pemerintah Indonesia kurang memberikan perhatian dengan hal tersebut. Tapi, di Finlandia mulai diberlakukan cuti bagi laki-laki yang baru mempunyai anak. Hal ini didorong oleh kesadaran bahwa anak-anak akan lebih baik tumbuh kembangnya jika dekat dengan ayah dan ibunya. (Ayu)