Menilik Kehidupan Beragama di Yogyakarta Lewat Bincang Hikmah: Moderasi Beragama; Tauladan dari Yogyakarta

Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bersama Perkumpulan Pengembangan Masyarakat Islam (P2MI) menyelenggarakan Bincang Hikmah dengan tema "Moderasi Beragama:Tauladan dari Yogyakarta". Kegiatan ini didukung oleh AKURAT.co dan dilaksanakan pada Selasa (16/3) via Zoom Meeting dan Live Streaming YouTube.

Narasumber Bincang Hikmah kali ini berasal dari Program Studi (Prodi) Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Mereka berdua adalah Dosen Hebat Prodi PMI, yakni Dr. Abdur Rozaki, M. Si yang merupakan Wakil Rektor III UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Dr. Pajar Hatma Indra Jaya, M. Si yang merupakan Wakil Dekan III Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Acara Bincang Hikmah yang dimoderatori oleh Dr. Tantan Hermansah ini diawali dengan pemaparan dari Bapak Rozaki. Beliau menyampaikan perihal pentingnya merawat moderasi keagamaan di kalangan anak muda, serta membendung paham intoleran khususnya di era digital saat ini. Hal ini bisa terlihat dari kalangan milenial yang memiliki gaya hidup instan sehingga mudah tergoda mengikuti ajakan yang serba instan.

Selain itu, Bapak Rozaki membahas secara mendalam terkait Moderasi Islam dengan mengkaitkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti halnya di Indonesia. Di level vertikal, Indonesia memiliki konsensus kebangsaan yang sangat kuat. Para pendiri bangsa memilih konsensus kebangsaan berupa Pancasila.

Bapak Rozaki juga menyebutkan mengenai munculnya tantangan baru dalam membangun moderasi beragama di tengah masyarakat. Seperti munculnya otoritas keagamaan berbasis digital platform. Hal ini seringkali memunculkan ketegangan di masyarakat, khususnya generasi milenial. Oleh karena itu, kearifan lokal harus dikontekstualisasi dan direproduksi ke ranah virtual menggunakan digital platform.

Sama menariknya, Bapak Pajar menyampaikan bahwa Kota Yogyakarta yang dulunya terkenal sebagai Kota Toleransi, kini perlahan mulai memudar. Kota Yogyakarta yang dikenal sebagai kota paling toleran dan kota ternyaman untuk ditempati, kini mulai dipertanyakan keabsahannya. Hal ini terjadi karena kehidupan bermasyarakat dan beragama di Yogyakarta mulai mengalami perubahan.

Menurut Bapak Pajar, Yogyakarta terdahulu pantas disematkan sebagai Kota Toleransi. Hal ini tidak terlepas dari tradisi baik yang dijalankan masyarakat Yogyakarta secara turun temurun. Namun, kini, tradisi baik tersebut mulai ditinggalkan masyarakat Jogja. Tak heran, saat ini banyak peristiwa ekstrem macam radikalisme dan intoleransi beragama di Kota Yogyakarta.

Mulai memudarnya nilai-nilai budaya Jawa di Yogyakarta, hal ini tentu berimbas pada kehidupan beragama di Yogyakarta. Salah satu fenomena yang tidak mencerminkan nilai Jawa ialah fenomena klitih. Peristiwa kekerasan yang dilakukan anak muda di Yogyakarta menciptakan citra buruk bagi Kota Yogyakarta di mata orang luar. Padahal di zaman terdahulu, fenomena ini tidak pernah terjadi di Yogyakarta sebelumnya.

Oleh karena itu, Bapak Pajar menegaskan, dalam menjalankan kehidupan beragama, jangan sekali-kali (tidak boleh) merugikan kelompok agama yang lain. (Ayu)