Diskusi Publik Internasional Bahas Konflik Identitas Keberagamaan Masyarakat Patani Thailand di UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 14 Mei 2025 – Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam (PMI), Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sukses menyelenggarakan Public Lecture Internasional bertema “Wacana Konflik Identitas Keberagamaan: Pengalaman Masyarakat Patani Thailand”. Kegiatan akademik ini menghadirkan narasumber internasional, Prof. Abdulroya Panaemalae, dosen dari School of Political Science and Public Administration, Walailak University, Thailand.
Public Lecture ini dilaksanakan di Gedung Rektorat Lantai 1 dan dihadiri oleh lebih dari 100 peserta yang terdiri dari mahasiswa S1 dan S2 Prodi PMI, serta dosen. Dihadiri juga kaprodi S2 Pengembangan Masyarakat Islam Prof.Dr. Hj.Sriharini, S.Ag.,M.Si. dan Prof. Dra. Hj. Siti Syamsiyatun, M.A. Ph.D. Kegiatan dibuka oleh Kaprodi PMI, Siti Aminah, S.Sos.I. M.Si yang menegaskan pentingnya forum internasional dalam rangka mengembangkan wawasan global mahasiswa. “Tahun ini, kami memiliki target internasional yang harus dikejar bersama. Kegiatan ini menjadi bagian dari langkah besar itu,” ungkapnya dalam sambutan pembuka.
Islam Minoritas yang Berpengaruh di Thailand
Dalam sambutannya, Dr. Abdur Rozaki menambahkan bahwa meskipun Islam adalah agama minoritas di Thailand, namun memiliki posisi yang berpengaruh dan layak dikaji secara akademik. Ia juga menekankan pentingnya menjalin kerja sama regional dalam semangat persaudaraan serumpun antara Indonesia, Malaysia, dan Thailand.
Simbolisme dan Konflik Identitas: ‘Fatoni’, ‘Pattani’, dan ‘Patani’
Dalam pemaparannya, Prof. Abdulroya Panaemalae mengangkat isu krusial mengenai konflik identitas keberagamaan yang dialami oleh masyarakat Melayu-Muslim di Thailand Selatan, khususnya di kawasan Patani. Ia menjelaskan bahwa perbedaan dalam penggunaan istilah "Patani", "Pattani", dan "Fatoni" mencerminkan kerancuan identitas yang mengakar dalam sejarah, budaya, dan politik lokal.
“Ini bukan sekadar soal ejaan, melainkan bagian dari pertarungan naratif: antara identitas lokal, nilai-nilai Islam, dan upaya negara-bangsa Thailand dalam membentuk satu kesatuan nasional,” paparnya. Ia mencontohkan inkonsistensi penggunaan istilah-istilah tersebut pada lembaga resmi, papan informasi, rumah sakit, hingga koperasi yang memperlihatkan konflik simbolik yang nyata.
Konflik Internal dan Ketegangan Budaya
Menurut Prof. Abdulroya, konflik tidak hanya terjadi antara masyarakat Patani dan pemerintah Thailand, tetapi juga muncul di dalam masyarakat Islam itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh ketegangan antara Islam tradisional, Melayu modern, dan pengaruh Arab-Islam modernis. Ia menyebut ini sebagai bentuk “konflik identitas internal”, yang menjadi tantangan dalam membangun kohesi sosial dan keagamaan.
Salah satu pernyataan beliau yang menarik adalah: “Patani selalu berkonflik dengan pemerintah Thailand dalam hal identitas Melayu – baik tradisional maupun modern. Ini adalah konflik yang tidak mudah diurai.”
Diskusi Kritis dan Perspektif Mahasiswa
Diskusi interaktif berjalan dengan antusiasme tinggi. Mahasiswa PMI mengangkat berbagai isu seperti:
- Relasi antara simbol Patani dan kontrol negara terhadap budaya serta peran perempuan;
- Status huruf Arab Jawi sebagai simbol keislaman yang masih hidup di Patani;
- Persoalan otonomi dan keberagaman wilayah Thailand;
- Diskriminasi terhadap masyarakat Melayu-Muslim;
- Hingga dinamika hubungan diplomatik antara Thailand dan Malaysia dalam menyikapi konflik Patani.
Terkait narasi serumpun, Prof. Abdulroya menanggapi dengan hangat. “Kita ini satu rumpun. Indonesia kakak pertama, Malaysia kakak kedua, dan Thailand adik ketiga. Kita tak bisa dipisahkan oleh birokrasi politik, karena budaya kita bersaudara,” ujarnya.
Inklusivitas vs Eksklusivitas: Menutup Pintu, Membuka Jendela
Menanggapi pertanyaan tentang strategi negara dalam menyatukan keragaman, Prof. Abdulroya menjelaskan bahwa pemerintah Thailand mendorong pembudayaan inklusif, namun dengan pendekatan top-down. Ini kadang menyulitkan masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam mendefinisikan identitas mereka sendiri.
Dalam kutipan yang menggugah, ia menyampaikan: “Menutup pintu boleh, tapi jendelanya harus tetap dibuka. Jangan tutup semuanya.” Pernyataan ini menekankan perlunya keseimbangan antara mempertahankan identitas eksklusif dan keterbukaan terhadap keragaman.
Penutup dan Harapan Kolaborasi Akademik
Kegiatan ditutup secara resmi pada pukul 11.30 WIB dengan sesi foto bersama. Prof. Abdulroya mengungkapkan harapan agar kerja sama antara Walailak University dan UIN Sunan Kalijaga terus terjalin. Ia juga membuka peluang bagi mahasiswa Indonesia untuk melakukan penelitian atau pertukaran akademik ke Thailand Selatan.
Public Lecture ini menjadi forum yang tidak hanya memperluas pengetahuan, tetapi juga membangun jembatan dialog lintas budaya dan agama. Diskusi lintas negara ini diharapkan melahirkan generasi cendekiawan Muslim yang inklusif, kritis, dan memiliki kesadaran sejarah yang kuat.